selamat datang di blog sanggar sastra tasik......................................................................AGENDA ACARA / KEGIATAN SANGGAR SASTRA TASIK......................................................................menggauli sastra bukanlah dosa

Kamis, 20 November 2014

LOMBA BACA PUISI SE-JAWA BARAT 2014

Dalam rangka memeriahkan wacana sastra Indonesia yang kreatif dan produktif, serta dimaksudkan untuk memasyarakatkan sastra itu sendiri kepada khalayak ramai (terutama puisi), maka Sanggar Sastra Tasik (SST) akan menggelar kembali LOMBA BACA PUISI SE-JAWA BARAT 2014.

TENTANG PERLOMBAAN
Lomba terbuka untuk umum usia 17+ dengan persyaratan sebagai berikut

1. Warga Negara Indonesia atau WNI Keturunan, berdomisili di Jawa Barat atau di manapun di Indonesia namun lahir di Jawa Barat yang dibuktikan dengan fotokopi KTP atau identitas lainnya.
 
2. Calon peserta mendaftar langsung ke tempat-tempat pendaftaran yang telah ditentukan, mengisi formulir pendaftaran

3. Peserta memilih satu judul untuk dibacakan pada babak penyisihan. Dan satu judul puisi yang lain (judul puisi berbeda dengan puisi pada babak penyisihan)  untuk dibacakan pada babak final (jika masuk final).

4.  Pendaftaran LBP SST Se-Jabar 2014 ini mulai dibuka pada :
     19 Oktober s.d.  24 November 2014 . 

5. Biaya pendaftaran Rp. 35.000,-

6. Teknikal Miting 
    Hari/Waktu : Kamis, tanggal 27 November 2014 jam 13.00 WIB -selesai. 
    Tempat        : Ruang Aula Dinas Pendiikan Kota Tasikmalaya (kompleks Perkantoran) 
                         Jl. Ir. H. Juanda, Kota Tasikmalaya.

7. Pelaksanaan lomba adalah 29-30 November 2014 di Eks.Gedung DPRD Kabupaten  Tasikmalaya
    Jl.Pemuda No.1 Kota Tasikmalaya (seberang Mesjid Agung Kota Tasikmalaya).

8. Kejuaraan.
    Lomba Baca Puisi ini akan memperebutkan gelar Juara 1-3, Juara Harapan 1-3 dan Juara Favorit    
    dengan hadiah Piala, uang pembinaan, piagam penghargaan, dan bingkisan.

9. Juri
    Dewan Juri dipilih dari kalangan sastrawan dan deklamator yang sudah tidak asing lagi di jagat  
    sastra Indonesia, yakni 
    a. Beni Setia (Caruban, Jawa Timur), 
    b. Arief Joko Wicaksono (Jakarta), dan 
    c. Sosiawan Leak (Solo).

10. Materi Lomba Baca Puisi : (Klik untuk Download Langsung)
-----------------------------------------------------------

Irvan Mulyadie
TASIKMALAYA I
:Kota Penyair

Inilah kota paling purnama
Bagi saban-saban jiwa
Yang tak pernah ditidurkan bahasa cinta
Bahkan pada malam yang rapuh
Di mana keluh para pelacur
Begitu dingin mengalirkan selarut doa
Untuk saban perkampungan dan pesantren
Yang tak pernah bisa lepas
Mengisi masjid dengan salat berjamaah

Sementara pawang hujan tak pernah henti
Menafsirkan gerak cuaca
Bagi mimpi yang menjauh
Dari lapang ke lapang dan alun-alun
Di mana para penguasa berebut sima
Meresmikan pancuran darah bagi rakyatnya

Di sinilah penyair lahir
Dengan pena-pena sembilu di mulutnya
Puisi-puisi menjelma sihir
Seperti takdir
Yang mengeja reruntuhan suara petir
Dan menulis kisah-kisah paling satir
2011
-----------------------------------------------------------



Amang S Hidayat
LUKISAN WAKTU

Wahai engkau yang dipersunting matahari
Setelah cadar kabutmu memudar
Bayangan pelangi menjadi cermin gerimis
Yang membias ke tangga langit
Di mana rembulan memujamu ketika sunyi memeluknya

Wahai engkau pertapa yang memuja perhiasan kasat mata
Akankah kaudengar rintih hujan airmata bumi
Seriang senja mewartakan ramah rangkum cuaca
Atau raung gemuruh guntur menghardik tangis
Hingga menjelma penjara
Bagi gemericik bening di belantara hening

Kami yang senantiasa duduk
Dijilat tajam matamu
Hangus ditelan kemarahan waktu
Ketika kausulap kegetiran itu
Menjadi perisai kehancuran tradisi
Laksana mengusir debu di mahkota singgasanamu

Hari ini wajah kita mengusam
Aib menutup anggun raut wajahmu
Dan inilah produk yang dibiaskan kehancuran itu
Barisan para petualang
Berebut puing-puing mimpi tanah merdeka
1999
----------------------------------------------------------------



Saeful Badar
DI DENGUS-DENGUS MALAM

Di dengus-dengus malam di remang-remang syahwat bulan
Umurku melebur dalam kubur peradaban yang durhaka
Di geram-geram rindu di pekat-pekat birahi dendam
Cintaku lamur di antara geliat ingkar dan tafakur

Beri daku segar musim baru, Tuhanku
Sebelum kuikhlaskan kekalahan demi kekalahanku
Andai tak kuat lagi jasadku menyangga nafsu
Maka beri daku tidur panjang dalam khalwat angin dan batu-batu

Di dengus-dengus malam di syahwat-syahwat bulan
Rohku mengembara mencari jejak-jejak waktu
Di batu-batu bengal sisa-sisa umurku berabad lalu

Di jejak-jejak bulan di bayang-bayang gulita malam
Jasadku melayang di kehampaan musim tanpa cinta
Maka rohku pun terhuyung seperti adam terusir dari cinta hawa
2007
---------------------------------------------------------------------



Acep Zamzam Noor
JALAN MENUJU RUMAHMU

Jalan menuju rumahmu kian memanjang
Udara berkabut dan dingin subuh 
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau di mana? Angin mengupas lembar-lembar 
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar

Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara
Pada batu karang.Jalan menuju rumahmu kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk
Gerimis.Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan

Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku.Semuanya berterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu.Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat.Kembali aku bergulingan
Bagai cacing. Bersujud lama sekali

Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi
1986
------------------------------------------------------------------------



Nina Minareli
DI KEDALAMAN DADAMU

Saat aku bersandar di kedalaman dadamu
Ada gemuruh angin yang menggoncangkan waktu
Ada jalan ke tengah hutan yang tak pernah tergambarkan
Dan masih ada banyak malam yang tak pernah selesai
Sementara di dekat pelabuhan kecil itu
Masih sempat kupandang lambaian bendera
Yang dipoles warna jingga ke angkasa
Seperti kata-kata ombak pun mulai menjatuhkan suara
Menelan butiran pasir dan airmata
Yang senantiasa dihantam peperangan dan cuaca

Wahai engkau yang selalu bosan disekat rembulan
Dalam kesendirian tongkat langit tinggal satu-satunya senjata
Dalam kedukaan tinggalah kata-kata sebagai tenaga
Dalam kesengsaraan hanya irama musim yang akan
Menyembulkan jamur kesabaran dari hujan dan pancaroba
Engkau yang tak pernah bosan di rumah cahaya
Masuklah dalam kemabukanku
Atau pergi dan tinjulah aku ke tengah orang-orang
Yang lapar dan haus itu
Lalu lemparlah aku pada keikhlasan bumi
Dari negeri yang terbakar ini
1998
--------------------------------------------------------------------------



Yusran Arifin
SYAIR BATU AKIK

Tak penting lagi kau lahir di mana
Di sungai deras atau pun di lereng-lereng cadas
Kau tambang hatimu, pikirmu juga usiamu
Hidupmu tiada lebih baik 
Pun tak lebih buruk dari yang lain

Andai kau tak mengasah tubuhmu 
Sesungguh hati, kilaumu takkan pernah berarti
Kau hanya menghuni riuh kali
Tiang jembatan atau hanya berserakan 
Di jalan setapak kehidupan

Hidupmu penyair, adalah ketulusan 
Cinta yang kaupendam dan digosokkan
Bertahun-tahun perburuan, penambangan
Ritual-ritual dan pertapaan
Atau mungkin kesia-siaan
2012
-----------------------------------------------------------------------



Zulkifli Songyanan
DI KAMPUNG NAGA

Dari tangga yang menghubungkan
Keluhuran nama dan kerendahan hatimu
Aku masih memaksakan senyum sambil berusaha
Menggali segala rahasia yang kautimbun
Di balik atap-atap rumbia.

Aku berlari kemudian kulucuti semua kata-kata
Yang ditawan ketidakpastian.Akar-akar pohon menjuntai
Di selatan, gelisahku pecah dan menjelma
Batu-batu yang sabar disengat matahari
Batu-batu yang tegar diseret arus kali.

Kampung Naga, di lesung pipimu seorang gadis manis 
Menganyam bambu dengan harapan ia bisa memindahkan
Kota ke matanya. Aku cemburu.Kucuri pohon-pohon rimbun
Dan kusembunyikan dalam hatiku.
Barangkali keteduhan akan tumbuh di situ.

Siang semakin menyala aku sedikit lebih gila.
Kusaksikan ibu-ibu perkasa menggendong mimpi 
Di pundaknya sedang para lelaki memikul hasil panen
Entah ke mana.Aku tertegun memahami hakikat kesederhanaan
Yang masih bernyawa di sini.
2007
----------------------------------------------------------------------



Jun Nizami
DI SAMARANG

Alamanda, alamanda, memandangmu dari
jendela yang terbuka.Sepagi ini, kenangan
merambat seperti waktu, seperti tetumbuhan
labu di dadamu.Kau memanggil, sedang aku
mendekap tubuh sendiri yang menggigil.

Alamanda, alamanda, rumah-rumah dihantam
kabut, sedang aku dikepung gelisah yang tak
juga surut.Samarang yang dingin, siapa yang
menari di luka angin. Tanah adalah rahasia,
bagi hektar kentang yang membaca cuaca.

Alamanda dan selukis bukit.Adakah yang
lebih bergembira selain petani, yang memanggul
sekarung kol, di musim yang tak terduga ini.
Dunia yang pahit! Sementara dadaku yang
menampung seluruh kata pamit, masih saja
memuja rasa sakit.
------------------------------------------------------------



Ratna Ayu Budhiarti
DI BAWAH MATAHARI

Mari duduk di sini, di sebelahku,
Kita bercerita tentang pagi yang cerah
Dan udara segar di pegunungan
Juga tentang dua pesawat yang berpapasan di udara
-Barangkali mereka mengawasi kita-

Mari dengar kersik angin di daun cemara
Bunga rumput yang menjulang
Menari mengiringi irama cinta yang riang

Ada sehamparan rumah dan gedung tinggi menjulang di bawah sana
Di kaki bukit dan lembah yang tadi kita lewati
Entah di tikungan ke berapa deru kata-kata menjadi deraian tawa

Saat langit terang, di lapangan rumput yang lengang
Dua pasang mata mengisyaratkan penyatuan.

Aku mencintai pagi, ucapmu dekat di telingaku
Saat semua suara tak lagi ada,
Selain kesiur angin dan nafas kita
Dan semesta yang sedang bekerja.
2013
--------------------------------------------------------



Soni Farid Maulana
GORESAN ANGIN

Inilah kenyataan itu: barik-barik sunyi,
Goresan angin pada debur ombak, dan lengkung
Langit dan ruh yang luruh dalam tubuh,
Serta petikan mawar juga kenanga dan cempaka
Yang kautabur di tanah itu.

Hanya tanah, selalu tanah dan bahkan
Melulu tanah yang kelak memeluk ini tubuh
-- setelah ruh terbang
Bagai burung-burung Attar dan waktu
Ke waktu mencari alifNya yang cerlang

Sekali lagi, hanya tanah dan cacing hitam
Di kegelapan.Batu-batu
Juga setumpuk papan, yang dipotong
Dengan ukuran tertentu.

Inilah kenyataan itu – tubuh lusuh,
Yang berair dan bernanah itu
Disingkirkan dari ruang tamu
Juga dari ranjang tempatmu
Bermimpi dan bercinta
1996
--------------------------------------------------------------



Ahmad Faisal Imron
KOTA TERAKHIR

inilah kota terakhir
tapi tinggal dingin, sisa abu pembakaran
aroma kemenyan, piano tua, tekstur batu
patung babi dan sebuah papilyun masa tuamu

kau nampak seperti pengamen yang kelelahan

malam itu tak ada hujan juga petir
yang kini menyerupai rambut dan alis matamu
di tahun 1344, di kota terakhir bagimu
setelah bertahun-tahun kau memeras air minum
dari seribu sumur yang memabukkan
setelah menjelajahi pulau-pulau dan menjadi seribu suku
kau mungkin hanya dapat merasakan
dingin dan keheningan ini adalah hakikat dirimu

tapi kau selalu berkata Mozart, Mozart!

dan tak ada lagi jerit biola
di tahun 1344, tapi bukan seorang nabi
kota ini berdiri dengan sebuah kitab suci
dan selalu orang-orang menyerukan
pada akhirnya: kami hanya butuh puisi

tarian-tarian para dewi
2006
-----------------------------------------------------------------



Eriyandi Budiman
LAHIR KEMBALI

Sebuah granat yang disimpan di atas rel tentu bukan untuk membunuh
kuman.Di negeri kami bom menjadi mainan yang tidak lucu.Para
mantan penguasa yang bengis, memasok cerita pembunuhan yang
sadis, di bawah kursi kekuasaan yang goyah.

Hujan fitnah.Banjir darah.Adalah menu makan dan impian rakyat
yang jemu menunggu ratu adil.

Jalanan macet, penganggur berjejal menjilati tujuh matahari yang
siap meledak.Jutaan buruh menjajakan kesepian ke negeri jauh.
Para pembajak berpesta di atas kepala yang penuh bara, menjadi
singa pemangsa anaknya sendiri.

Di sini, aku terus mencari cinta yang kian pudar warnanya.Puisi
menjadi tempat mengkeramasi dosa.Hingga setiap saat aku lahir
kembali.Menggapai kesufian, dibantai kesepian.
----------------------------------------------------------------------





Bode Riswandi
IRHAM

Berombak-ombak percakapan kita di sini
Menuju karang, memukul kerang, menjaring udang
Serta menempa angan-anganmu yang memanjang
dan telentang.

Kau ikat hatimu di antara silir angin dan serbuk pasir
Sementara aku semakin mendekat ke pesisir
Bagai nelayan karbitan yang menjaring seribu ikan
Tanpa jala, jangkar, atau perahu pelesiran.

Aku tersungkur ke dalam hatiku sendiri yang serupa kamar
Lalu kau mengajakku ke mercusuar, menghitung camar
Menunjuk arah kaki langit yang gusar di tengah ketakutan
dan keberanian yang silih kejar.

Aku memejam mencemburui matamu, Irham
Yang diam-diam memancarkan bulan kertas
Bulan yang kubidik dari pucuk dan ranting pohon
Dari malam ke malam paling khusuk.
2006
---------------------------------------------------------------



Nazaruddin Azhar
ZIARAH HUJAN

mengenang hujan
senyap di rerumbai atap rumbia
netes perlahan
letih angin menempuh jauh
nyelinap di rongga bilik rapuh

bubungan injuk basah dan lapuk
bertengger burung hantu bersayap kutuk
ah, dada yang uzur
riwayat dan umur
segetar di pureut dan inang
yang membentangkan dawai hening
usai seribu tembang
berarak ke awang-awang

dingin lagi kecapi
nyeri di nadi
menjalar ke ujung jari
jantung ini, indung
degupnya mengelawung
di rongga dada suwung

lalu talupuh bisu, serat-serat lantai bambu
mengendapkan langkah gaib itu
seakan daun-daun gugur
sempurna dilepas takdir
seakan bertanya
siapa yang tak pernah ada
di antara kita?
2001
-----------------------------------------------------------------



Kidung Purnama
PAMIJAHAN

Dan di sinilah
Aku mulai meniti gerbang tangga usia
Melangkahi detak impian dari batu ke batu
Merambat dalam irama waktu
Merapat di antara stalagnit dan stalagtit

Ada getar kesunyian di lorong ini
Merambah gelombang belantara malam
Para peziarah lewat merayapi garis nasib
Gema dzikir serentak menghantam telinga
Tanpa akhir air khusuk mengalir
Membasahi jemari kaki menuju punggung bukit
Sedang dzikir terus menggedor dada
Membuat peluh melelh di tubuh pertapa
Keletihan dan basahnya cadas
Semakin mendekat menghimpit sisa nafas

Di antara lorong lain yang sempit
Keheningan perlahan bangkit
Menghentak dinding kerapuhan hati
Tiba-tiba saja adzan berkumandang dari altar jiwa
Pada tiga jalan petunjuk: Mekkah! Banten! Cirebon!
Diam-diam keterasingan angin dingin
Menyelinap dan memapah remuk lukaku
Malam semakin menggelisahkan genangan air
Sesekali membenturkan diri ke lekuk cadas
Dan kembali menyeret cahaya lentera itu
Ke lain ruang yang gelap dan jauh
2002
------------------------------------------------------------



Sarabunis Mubarok
ASMARANDANA

Melulu usia mengulum gairah bagi azimat yang 
memayau pada didih darah yang membuncah. Aku 
menjumpaimu, saat keyakinan begitu mencekam. 
Kota-kota silam, sorot matamu yang ringan, dan cuaca 
percintaan yang dikabuti rindu-lebam, melaju di kereta 
kegelisahan, menuju lelancip nasib, dan kita raib di 
antara kesangsian dan kecemburuan orang-orang.

Lalu kubaca sentuhanmu, kesederhanaan yang dipagari 
pohon-pohon rindang dengan getah yang mengalir ke 
hatiku. Kubaca sebagai sungai yang mengalirkan air susu 
bagi hidup yang dilampaui segala kelu. Tak ada kemelut 
bagi rahasia yang termandulkan dogma-dogma, tapi aku 
telah menanam bunga bagi wangi-wangi ganjil dari 
segala siasat yang memental ke kota-kota terpencil.

Dan musim akan memanggang tubuh kita. Tapi cinta 
masih saja dirindukan ikan-ikan. Melulu kau kupancing 
dengan kail paling tajam, melulu kubiarkan hatiku menjadi 
umpan, sampai kau mengerang dengan luka menakjubkan, 
menjelma rahasia yang setia mengirim peluh pada dingin 
yang menggerayang, doa bagi sawah yang kutanam dengan 
kesabaran untuk menunggu Tuhan menurunkan hujan.
2007
----------------------------------------------------------------------



Mira Lismawati
SEPENGGAL EPISODE DARI NEGERI ANGAN

Kau hanya memainkan sepotong episode dari permainanku
Mengisi ruang dan waktu di rumah susun pikiranku
Yang digoyahkan angin dan digetarkan halilintar
Lantas aku menjadi gila oleh rupamu yang persis boneka

Aku yang semakin asyik bermain dengan televisi
Menonton tubuh telanjangmu yang menggairahkan
Hingga mataku menjadi buram memecahkan layar angan

Aku memutuskan bunuh diri di ruang sepi
Bersama waktu yang pasrah di tanganku
Lalu kubacakan mantera kematian yang kucuri dari bait-bait puisi
Melubangi kuburan di atas lahan pikiran yang tandus seperti gurun

Aku tak menyesal
Sebab kematianku tak menyudahi kehidupan
Aku ingin bereinkarnasi menjadi televisi
2002
----------------------------------------------------



Romli Burhani
PANGANDARAN

Akan selalu kutitipkan kerinduanku padamu, Nyai
Meski kerap kali kau mengusirku pada sepi

Ombak adalah hasrat yang tak khatam
mencumbu tubuhmu 
Angin laut, pandangan yang tak selesai, dan

Harum tubuhmu – sebuah wewangian dari
Pasir yang basah -
Telah menenggelamkanku pada sebuah cerita

Di sebrang, lekuk tubuhmu yang lain
Bumi yang lain; lagu-lagu nelayan

Di barat fajar menyekap darah burung-burung 
Di timur senja terbakar meninggalkan bara
Langit mengendapkan laut pada garam yang pekat
Bulan tiba dan warna malam memudar
2013
---------------------------------------------------------------



Nero Taopik Abdillah
MENJUMPAI IBU

Kemarin anak-anak saling menghunus parang
membasuh ibu dengan amarah dan darah

Sengaja aku menemui ibu dengan napas yang singkat
meraba udara panas, bercakap dengan sepasukan laron 
yang hinggap di gelas-gelas kopi serta sajak yang tegap berdiri
di tengah kemenangan sepasang turis lokal 
yang mengusung peta ke pusat kota

Reklame, aku tak sempat menjambangi kemenangan 
selalu tubuh ibu yang kumuh, diguyur limbah
dijejali sampah dan dicekoki ramuan asing
ibu dengan lemak, dengan kolesterol, dan darah tinggi
semacam rute, semacam sejarah yang kekal
ada luka pada kulit, tulang dan daging ibu
dan seribu bocah menagih susu, berdesakan
saling menuding: akulah yang berhak!
Oktober 2012
----------------------------------------------------------------------------



Yadi Riyadi
KOTA SUNYI SELEPAS PURNAMA

lewat tengah malam
tak satupun pintu
dan jendela terbuka
semua menjadi dingin
diantara riuh angin

di matamu wajah kota
seperti tanpa cahaya
gelap menyekap mimpi
tanpa suara

tapi di hatimu
telah kau tanam benih harapan
tumbuh menjadi ladang bebukitan
tempat anak-anak mencangkul
mimpi dan kenangan

lewat tengah malam
adakah kau dengar suara-suara lapar
berteriak meratap nasib di lorong sunyi
di manakah keadilan bermuara
bila airmata duka menjadi hujan badai
sementara kita hanya bisa berkabung
menunggu giliran di batu nisan
2009

Selasa, 02 April 2013

LOMBA BACA PUISI SE-JAWA BARAT 2013




Setelah absen di tahun 2012, Sanggar Sastra Tasik (SST) kembali akan menyelenggarakan Lomba Baca Puisi se-Jawa Barat 2013 pada 10 - 12 Mei 2013 mendatang.di Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) Jl. Lingkar Dadaha No. 18,5 - Kota Tasikmalaya.

TENTANG PERLOMBAAAN
Lomba terbuka untuk umum usia 17 tahun ke atas dengan persyaratan sebagai berikut: Warga Negara Indonesia atau WNI Keturunan, berdomisili di Jawa Barat atau di manapun di Indonesia namun lahir di Jawa Barat yang dibuktikan dengan fotokopi KTP atau identitas lainnya.
Calon peserta mendaftar langsung ke tempat-tempat pendaftaran yang telah ditentukan, mengisi formulir pendaftaran, serta membayar biaya administrasi sebesar : Rp. 35.000,- (tiga puluh lima ribu rupiah).

Waktu Pendaftaran yakni 1 April 2013 – 9 Mei 2013

Teknikal Meeting 9 Mei 2013 Jam : 14.00 WIB - Selesai
di Gedung Kesenian Tasikmalaya.

Untuk peserta yang berdomisili di luar alamat sekretariat pendaftaran yang tercantum di bawah, dapat mendaftarkan diri ke tempat pendaftaran terdekat.

 TASIKMALAYA   Sekretariat Sanggar Sastra Tasik (SSTJl. Argasari No. 22
                                      Kontak Person : Arinda Risa Kamal (083827804659)

- CIAMIS                   :  Bapak Kidung Purnama (081320797616) SMA Negeri 1 Ciamis

- BANDUNG             :  Sdr. Zulkifli Songyanan (085323420359)  Area Studi dan Apresiasi    
                                       Sastra-UPI (ASAS-UPI), Semmi Ikra Anggara (081809663285)

- CIREBON                Wahyudi Yuli (085724556528) Komunitas Rumah Kertas.

- MAJALENGKA      Sdri. Diah Rosdiana, Blok Kenanga RT 7 RW 04, Desa/Kec.  
                                      Panyingkiran, Kab. Majalengka (081222155512)

- CIANJUR                Sdr. Ucup Waras (085793926998) Warung Sastra – Universitas Surya
                                      Kencana

- GARUT                    Nero Taofik Abdillah (081323460864) Komunitas Ngejah
                                      Didi Rahman Photography (Simpang tiga alun-alun kec. Cibatu
  Kontak : 085738446577 Ratna Ayu Budiarti)
  Fachroe (082121844927) Poss Theatron


 TEKNIS PERLOMBAAN
-          Peserta memilih dua judul puisi yang telah disediakan panitia dalam bentuk Antologi Puisi Lomba yang bisa diperoleh pada saat mendaftar/ Teknikal Meeting,
-          Satu judul puisi dibacakan pada Babak Penyisihan, dan satu judul yang lainnya dibacakan pada Babak Final jika peserta bersangkutan berhasil masuk Final. Jadi, baik di Babak Penyisihan maupun di Final, peserta hanya membacakan satu buah puisi yang berbeda.

Adapun puisi-puisi yang wajib dibawakan peserta tersebut antara lain:
1.      Hanna Fransisca PADA SUATU HARI
2.      Yusran ArifiGAUN BORDIR
3.      Joko Pinurbo  KALVARI
4.      Taufiq Ismail  AKU BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI
5.      Rendra  DI MEJA MAKAN
6.      Sutardji Calzoum Bachri PARA PEMINUM
7.      Acep Zamzam Noor  LAGU BULAN MEI
8.      Sarabunis Mubarok TULISAN PADA PETA
9.      Irvan Mulyadie  PALESTINA, MELANGGAM LUKA
10.  Juni Zami AN AFTERNOON
11.  Juniarso Ridwan  LAUT MENDERA
12.  Syahreza Faisal DALEM CIKUNDUL
13.  Bode Riswandi  BUAT ANNA POLITKOVSKAYA
14.  Nina Minareli LUKISAN LAUT
15.  Nazarudin Azhar NOCTURNO, 2
16.  Amang Berdaulat  PESTA TABUR BUNGA



Pengantar Lomba:
SEBUAH UPAYA MEMBUMIKAN PUISI

LOMBA Baca Puisi Sanggar Sastra Tasik (SST) dimaksudkan untuk lebih membumikan puisi ke tengah-tengah masyarakat. Upaya ini merupakan sebuah komitmen yang tetap dipegang teguh oleh SST sejak permulaan berdirinya pada paruh akhir tahun 1996 silam. SST merupakan satu-satunya komunitas sastra di Tasikmalaya yang secara khusus bergelut di bidang sastra, terutama puisi. Meski tidak secara khusus menggarap pelatihan baca puisi – sebab lebih cenderung menjadi laboratorium penulisan puisi bagi para peminat serius untuk menulis puisi, SST berkepentingan untuk memetakan bibit-bibit pembaca puisi yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk itu adalah dengan penyelenggaraan lomba seperti ini. 
            Kami melihat, selalu ada hal yang menarik dari kegiatan lomba seperti ini. Betapa di tengah-tengah “terasingnya” puisi bagi sebagian besar masyarakat kita, ternyata selalu saja terdapat pembaca puisi yang baik bahkan sangat baik, yang – tidak saja mampu memperlihatkan interpretasi yang benar terhadap teks puisi yang dibacanya, melainkan juga mampu menyajikan ekspresi dan gaya pembacaan yang memikat ketika tampil di atas pentas lomba. Hingga karenanya, puisi terasa hidup dan sangat menarik.
Secara teks, puisi memang hanyalah benda mati yang mungkin sulit untuk dipahami atau dinikmati oleh sebagian besar orang. Maka tugas pembaca puisilah untuk menghidupkan dan menyampaikan pesan-pesan/makna yang terkandung di dalamnya kepada pendengar atau penonton. 
Lewat pembacaan yang baik, puisi seolah menjadi benda hidup dan pentas baca puisi tentunya menjadi tontonan yang asyik dan nikmat untuk disimak. Lebih dari pertunjukan dangdut atau musik pop, umpamanya, menikmati pertunjukan baca puisi malah sangat kontemplatif dan bahkan cukup inspiratif jadinya. Pada gilirannya, mentalitas dan ruhani kitapun akan tercerahkan dibuatnya. Di sinilah letak efektivitas Lomba Baca Puisi sebagai media sosialisasi, di mana hal ini akan mampu memancing perhatian orang, yang awam sekalipun, untuk bisa tertarik lebih jauh kepada puisi. Maka jika kegiatan semacam ini banyak diselenggarakan oleh banyak kalangan secara terus-menerus, bisa jadi katup “alienasi” puisi dalam kehidupan masyarakat kita, perlahan namun pasti, akan terbuka dengan sendirinya. Itulah barangkali yang senantiasa dimimpikan oleh Sanggar Sastra Tasik atau mungkin oleh kita semua.
Lewat Lomba Baca Puisi, kita bisa mengaji tradisi dan mencerahkan hati. Ah, semoga saja ini tidak sekedar sebuah obsesi atau mimpi, apalagi janji, sebab kami bukan politisi yang kerjanya cuma bisa menebar janji tanpa bukti. Sehingga, bisa jadi benar bahwa ketika keadaan politik suatu negara kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya. Demikian sebagaimana yang, konon, pernah dikatakan oleh John F. Kennedy.     
Selamat berlomba. Merdeka! (*)
SANGGAR SASTRA TASIK (SST)




“ LAGU BULAN MEI 
ANTOLOGI PUISI LBP SE-JAWA BARAT SST 2013




Hanna Fransisca

PADA SUATU HARI

Adakah nyanyi Hutan Bambu* sampai padamu?
Telah kuputuskan menunda hati pada embun pucuk pagi.
Sebelum burung tiba, dan angin menjatuhkan derainya
pada tanah yang mengekalkan sepi.

Maka dengarkan suara hati sebelum pergi.
Sebab telah kularang siapapun menjelma burung. Kutolak
serta
para pemanggil angin. Lantaran embun
terlanjur jatuh menjadi batu, adalah cintaku
yang terus menunggu.

Kaulihat malaikat menuruni tangga langit,
di malam udara, membawa embun
dan menidurkan aku di sini. Pada suatu hari.
Menunggu hangat langkahmu
tiba di sini.

Pada suatu hari. Di pucuk bambu.
Dari sepi ke sunyi.
Dari angin ke bunyi.
Menyeru deru.
Sebutir debu.


Jakarta, Agustus 2011




Yusran Arifin

GAUN BORDIR

Seperti deru juki mimpimu berlari kencang sekali
Helai benang juga lembar nasibmu yang terang itu kau bentang
Dari tiang pikiran hingga ke tiang-tiang tak terbilang
Jumlahnya. Hidup adalah bentangan mimpi dan harapan-harapan
Suci, jeritmu dengan hati panas seperti mesin yang kehilangan minyak
Pelumas. Kau terus berlari mencelupi waktumu yang singkat itu
Dengan warna-warna pelangi. Tak juga kau berhenti

Masa depanmu adalah riuh pasar yang tak henti kau perlebar
Hingga kampung-kampung telah lama kau ratakan.Mirip barbar
Sebelah dari madrasah juga selasar dari mushola yang terbelah
Di hatimu, di samping rumah kontrakan itu  telah lama kau
Sewakan,  jadi tempat pelelangan. Segala yang ada dan kau punya
Kau jual-belikan dengan harga menyedihkan. Kau jual bordir
Muliamu.  Kau tukar gaun abadimu dengan kesementaraan


2013




Joko Pinurbo

KALVARI

Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang

Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.

Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
 berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.
“Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai.”

Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa Negara, tanpa agama.

Hanya ia yang mendengar sekaratnya.

“Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucercap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur.”

Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.
“Ia sudah pergi ke kota,” katanya,
“dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.”


1998




Taufiq Ismail

AKU BELUM BISA MENYEBUTMU LAGI

Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan

Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan

Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
 Berates sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam

Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutan
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini

Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam


1964



Rendra

DI MEJA MAKAN

Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
tatapan matanya pada lain sisi meja
lelaki muda yang dirasa
tidak lagi dimilikinya.

Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa.

Dipeluknya duka erat-erat
dikurung pada bisu mulut
dan mata pijar warna kesumba

Lelaki depannya mengisar hati
-          sudah lama.

Terungkap rahasia diperam rasa
terkunci pintu hati, hilang kuncinya
-          sudah lama.

Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
memisah sudah sebagian nyawanya
di hati ia duduk atas keranda.

Lalu ditutup matanya gabak
gambaran yang digenggam olehnya:
lelaki itu terhantar di lantai kamar
pisau tertancap pada punggungnya.




Sutardji Calzoum Bachri

PARA PEMINUM

di lereng-lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
dipuncak

mereka oleng
tapi mereka bilang
-kami takkan karam
dalam laut bulan-
mereka nyanyi-nyanyi
jatuh
dan mendaki lagi

di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka

dipuncak
semuanya diam dan tersimpan


1976-1979



Acep Zamzam Noor

LAGU BULAN MEI

Bukit-bukit kembali menggeliat
Langit menanggalkan mantel tebalnya
Seperti perempuan yang terlentang di pantai
Mandi cahaya. Kuhirup birahi musim semi
Dari daun-daun dan rumputan baru
Kureguk anggur dari gelasmu yang penuh
Dan kita berada di hari lain
Di antara hari-hari yang memberat
Oleh muatan rindu

Aku membaca lagi
Buku-buku lama yang tertimbun salju
Kantuk dan kemalasan. Kusingkap halaman-halamannya
Dan aku menemukan pir, apel dan jeruk segar
Dari bukit-bukit dadamu yang menghijau
Kuulurkan tanganku pada matahari
Yang menuangi perasaanku dengan cahaya pagi
Lalu cahaya yang pemurah itu mengelus leherku
Dengan lidahnya yang hangat

Sebuah sungai di pahamu
Berkelok-kelok dengan riang
Menyirami rumpun bunga dan sayuran
Tangannya yang panjang bahkan mencapai
Altar gereja. Kulihat orang-orang berdoa
Dengan anjing-anjing mereka yang setia
Orang-orang bernyanyi dan berciuman
Seperti burung-burung merpati
Di bawah langit yang terang

Bersama sungai langkahku mengalir
Menyusuri tubuhmu yang licin
Kulewati puing-puing musim dingin
Seperti melewati hari kemarin yang kekal
Dari sekedar bercak merah di lehermu
Atau tumpahan anggur di lantai --
Namun kita akan tetap kehilangan juga
Seperti pohon yang ditinggalkan daun-daunnya
Ketika musim gugur tiba


1992



Sarabunis Mubarok

TULISAN PADA PETA
           
aku mencerap risau
di pantai-pantai di pulau-pulau
di selat-selat yang dihimpit hutan bakau
keringat nelayan masih mengasinkan lautan
saat hati orang-orang kehabisan garam

di kepal-kepal tangan di kecambah pikiran
di aliran darah anak-anak negeri yang deras
aku harus mencerap warna-warna kusam

mengapa negeri yang digurat kesuburan
membiakkan begitu banyak kambing hitam

gunung-gunung yang disandera di barat
sungai-sungai yang mengairmata di timur
kampung dan kota yang saling memburu
semua mengukir luka di tubuhku

lalu aku mencerap rahasia
di sulur-sulur cuaca dan hawa tropika
di senyum sejuk alam khatulistiwa
aku mencerap hasrat kembara
melebihi segala yang kasat mata

tapi di negeri yang sulit dibaca
minyak bagi remang adalah luka
haruskah aku menyulut api
meski membakar diri sendiri


2006



Juni Zami

AN AFTERNOON

Pada sepasang mata angsa
Kulihat senja yang terjaga
Di bibir telaga, seorang wanita
Mencelupkan sepasang kakinya
Sambil meraba beberapa bait
Sajak Lorca: tentang para pemanah
Yang buta. Souvenir asmara. Juga cinta
Yang mengenalkan kegembiraan
Dan rasa tunggara

Sementara di atas sebuah keletihan
Kuingat sepasang lesung pipimu
Hulu lahir juga arah hilir kematianku
Semakin sering kau tersenyum
Semakin kukenal kamar awal
Dan pembaringan yang kekal itu

Sebab keletihan, barangkali sebuah
Arloji yang dilingkarkan ibu dahulu
Pada pergelangan tanganku. Sejumlah
Peristiwa seperti juga namamu
Aku tuliskan. Semata agar bisa
Kukosongkan seluruh ruang dari
Ingatan

Seperti senja begitu juga tubuh seorang
Wanita buta yang perlahan-lahan malam
Sepasang angsa seperti juga hari-hari api
Dan kata-kata ketika bukit-bukit tenggelam


2011




Irvan Mulyadie

PALESTINA, MELANGGAM LUKA

………………….
Di balik mimpi, lukisan perang
Mengikis hati para pengungsi
Yang tergolek di tenda-tenda
Di sepanjang perbatasan kemanusiaan

Dengarlah desing peluru!
Saban hari, suaranya begitu parau
Dan aku ingat hari itu:
Anak-anak tak
kan bisa bernyanyi lagi
Mengeja peta dan shalawat
Yang setia melanggam luka

Kepada saban raungan mortar
Angin telah menasbihkan kematian
Di padang debu penuh sembilu
Hiruplah bau darah, asap mesiu!
Atau lihat sobekan daging yang terpanggang
Pada tubuh perempuan hamil muda

Di Ga
za, segala nampak sederhana
Genosida!
………………….
………………….
Ada sujud yang terhenti
Di hari Jumat penuh tragedi
Lalu malam merayakan kematian
Di lorong-lorong persembunyian
Ketika rudal ditembak
kan sembarang arah
Dan mendarat dalam buku-buku sejarah

Tapi tak
kan terbaca olehmu, anakku
Bagaimana bayi-bayi itu menemu ajal
Saat maut menyarangkan banyak peluru
Ke tanah suci yang dijanjikan

Ya, di sepanjang sungai Tig
ris
Beribu nyawa mengalirkan deras tangis
 

2009



Juniarso Ridwan

LAUT MENDERA

di laut ini tak ada tempat ombak mendarat,
cinta pun mengembara dengan sayap perkasa,
orang-orang menggapai karang, menorehkan kerinduan
dengan cipratan air. Ribuan perahu, dengan cahaya lilin,
mengelilingi pulau-pulau tak bernama:
mencari persinggahan.

nelayan segera mendayung waktu, mengarungi lengkung
langit, membelah perasaan untuk berbagi tempat
dan menebar jala di antara lelehan parfum.
Seperti sayur-mayur atau hasil bumi diperdagangkan,
kenikmatanpun menjadi barang
rebutan; dikemas dengan apik
sesuai hitungan selera.

kukitari gunung-gunung bersalju, sambil menunggu
sungai-sungai terbentuk dalam kepala,
menghanyutkan hutan belantara.
Lalu di palung lautlah ajal menunggu setiap orang
dengan penuh ramah: “selamat datang para undangan
yang patuh,” ujar serbuk sianida berbasa-basi.


1996



Syahreza Faisal

DALEM CIKUNDUL

dengan meninggalkan Sagalaherang --pondok tentram
tempat syamsi meretas kabut pagi setiap hari
ia merapikan keyakinan memilih menjadi petapa paling gigih lagi.
ia tak pernah mengira kelak menggurat silsilah kampung mukimnya
di ujung kota paling barat. di mana ia jatuhkan kakinya
di sanalah mengalir mata air pertama.

semai yang ia taburkan di sepanjang bantaran sungai
tumbuh dari hujan berkah dan suluran sumber Cikahuripan.
di mana segala binatang akan minum dari mulutnya
untuk melepas dahaga membasuh luka pula
yang didapati mereka  dari lebat rimba hutan.

ia menikahi istri dari kaum gaib semesta
dan mengutus ketiga anaknya agar bersemayam segera
ke tiap pundak dan gua gunung
: Suryakencana – sang penunggang kuda hitam bijaksana
Nyi Mas Kara yang memesona dan Andaka sang penangkal bala.
jadilah mereka selalu tersebut dalam tembang doa
terurai mesra dalam syair bujangga.

tapi kini ia tinggallah makam terkenang hanya sekadar ruap cendana
sisa jisimnya yang sesekali dibawa pembakaran pada selaka.
para penziarah mendaki ke atas 170 anak tangga
lewat ayat yang terucap sama banyaknya.

mereka menjadikan ia sekadar jembatan mustajab doa.
demi jodoh fana, demi pangkat belaka
dan demi muslihat nafsu lainnya saja.

ia terkubur seperti ingatan tentang bayi kota yang terlantar.
tiba-tiba suara ia berdenting pada rentang kawat kecapi
rajah yang ditembangkan suara parau lelaki tua
di atas sunyi purba pendapa kota.


2012



Bode Riswandi

BUAT ANNA POLITKOVSKAYA

Salju yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam peluru makarov yang dilempar
Seseorang ke dada dan kepalamu. Lantas
Orang-orang bernyanyi untukmu, tentang
Nasib serta takdir mereka yang bermukim
Di lobang senjata

Di Chechnya kematian itu mudah tumbuh
Bagaikan rumput, katamu. Berlapis-lapis
Ketakutan menjalar di dinding dan di kanal
Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun
Tidak sekelabu rambutmu yang menusuk
Banar peristiwa

Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari
Lentikmu berdarah mencium aroma bangsa
Yang punah. Di jalan-jalan, di tenda-tenda
Salju turun lebih kerap dari hari sebelumnya
Tapi nama-nama yang terkuras air matanya
Lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna

Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju
Tak cukup memadamkan bara di tubuhmu
Ketika burung-burung terbang ke dasar waktu
Dan beratus pasang biji mata digiring ke arahmu
Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari
Dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit
Kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna
Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana


2009



Amang Berdaulat

PESTA TABUR BUNGA

Seperti engkau yang bertengger di menara sana
Aku ingin mencatat kesaksian tiang bendera
Kemarahan puntung rokok
Tangis botol aqua
Ketika bisu pagar
Tak memuaskan slogan-slogan spanduk reformasi

Adalah ringkik michrophone yang mencak-mencak
Manakala debu kusi-kursi
Menceritakan sobekan arsip
Yang tertimbun dalam peti kemas meja sidang
Menjadi santapan kutu loncat
Dan sarang para kecoa
Di mana tikus-tikus
Merayakan pesta tabur bunga

Sementara semut-semut merapatkan barisan
Menyatroni kambing hitam pencuri gula-gula
Sambil menyeret cecurut
Yang kedapatan menimbun ransum

Jarum jam telah lupa akan arah angka-angkanya
Selagi hujan semburan ludah
Membanjiri perhelatan adu urat leher
Di mana setiap kursi
Memacu mulutnya hingga berbusa
Berebut seonggok racun
Yang disisakan ular beludak

Lalat-lalat malah berpesta
Menjilati luka segar anak toke

Yang tersisa kini
Tinggal bau dupa
Di mana asap kemenyan
Menggiring doa ke liang lahat


26 Desember 1998



Nazarudin Azhar

NOCTURNO, 2

dia, lelaki berjubah hujan
di negeri hijau kemalangan

seribu gang melingkar
rumah adalah rimba masing-masing
seorang gadis mengiris lengannya
mulutnya telah lama hilang
di dalam sebuah kerangkeng

dia lelaki berjubah hujan
dengan sisa seribu pelukan

"kau tahu, racun dalam nadi
limbah hitam dalam mimpi..."

gadis dengan separuh darah
hari-hari digelapkan
dalam sebuah kamar perkabungan

tak ada kisah cinta
atau lagu pop muntahan kesialan

di negeri ini mereka dipertautkan
oleh sepasang sayap
dan kelam


2011

  

Nina Minareli

LUKISAN LAUT

Laut meluap dari kebisuan panjang matamu
Minitipkan cuaca bagi hujan yang menjelma sangkar

Arah mata angin, biduk-biduk kecil, karang-karang
Pecahan cahaya ombak melingkar hening

Senja tenggelam, burung-burung hitam
Mengembarai sudut-sudut tabir warna musim

Laut adalah gemuruh kematian biru
Catatan rahasia cermin langit yang ragu dan bisu


2002